Dampak
Aflatoksin M1 Dalam Susu Bagi Kesehatan
Category: Tulisan Ilmiah Populer
Created on Wednesday, 16 April 2014
08:35
Ditulis Oleh:
Drh. Diah Nurhayati; Medik Veteriner
Pertama - Dit. Kesmavet dan Pascapanen
Susu merupakan bahan pangan bernilai
gizi tinggi yang dapat diperoleh dari hasil pemerahan hewan seperti sapi,
kerbau, kambing dan kuda, namun yang lazim dikonsumsi umumnya adalah susu yang
berasal dari sapi. Susu biasanya dikenal sebagai minuman penguat tulang dan
gigi karena kandungan kalsium yang dimilikinya. Susu mengandung protein, asam
lemak, mineral, dan vitamin yang bermanfaat bagi tubuh. Manfaat susu bagi
manusia antara lain menunjang pertumbuhan, mencegah osteoporosis, dan berbagai
manfaat lain, sehingga baik dikonsumsi sepanjang usia. Untuk dapat dikonsumsi
susu harus memenuhi persyaratan keamanan pangan karena susu mudah
terkontaminasi oleh mikroorganisme baik patogen maupun non patogen dari
lingkungan. Menurut Undang-undang No. 7 tahun 1996 keamanan pangan
didefinisikan sebagai kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan
dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat mengganggu,
merugikan dan membahayakan kesehatan manusia. Gangguan kesehatan atau penyakit
yang terjadi akibat mengonsumsi pangan yang mengandung mikroorganisme patogen
dikenal dengan foodborne disease atau foodborne illness. Penyakit
yang ditularkan melalui makanan (foodborne diasease) dapat terjadi
akibat intoksikasi makanan (food intoxication), infeksi makanan (food
infection), dan toksikoinfeksi (toxicoinfection). Intoksikasiterjadi
akibat mengkonsumsi pangan yang mengandung toksin yang dihasilkan oleh
mikroorganisme seperti toksin dari Clostridium botulinum, dan mikotoksin
dari kapang.
Mikotoksin merupakan hasil metabolit
sekunder dari beberapa genus kapang seperti Aspergillus spp., Penicillium
spp., dan Fusarium spp. Kontaminasi mikotoksin dalam pangan dapat
menyebabkan gangguan kesehatan bagi manusia karena bersifat karsinogenik,
teratogenik, hepatotoksik, neurotoksik dan nefrotoksik (Sengun et al. 2008).
Mikotoksin penting yang dapat menyebabkan gangguan kesehatan pada manusia
antara lain aflatoksin, okhratoksin, patulin, zearalenon, dan trikotesen.
Aflatoksin merupakan mikotoksin yang dihasilkan oleh kapang Aspergillus
flavus dan A. parasiticus. Kapang tersebut dapat mengontaminasi
bahan pakan ternak dan akan menghasilkan aflatoksin B1, B2, G1 dan G2.
Aflatoksin yang ada dalam pakan jika terkonsumsi oleh hewan ternak akan
meninggalkan residu aflatoksin pada produk ternak seperti daging, telur dan
susu. Sapi perah yang mengonsumsi pakan yang terkontaminasi aflatoksin B1
(AFB1) akan mengekskresikan metabolit hidroksilasi berupa aflatoksin M1 (AFM1)
ke dalam susu yang dihasilkan (Prandini et al. 2009).
Susu merupakan bahan pangan asal
hewan yang potensial sebagai sumber masuknya AFM1 ke dalam rantai pangan
manusia. Kendala utama dalam penanganan AFM1 pada susu ialah sifatnya yang
stabil pada pemanasan, baik suhu pasteurisasi maupun sterilisasi, dan proses
penyimpanan. Aflatoksin M1 tidak terurai pada pemanasan mencapai 250 °C,
sehingga masih dapat ditemukan pada susu pasteurisasi (Celik et al. 2005),
susu ultra high temperature (UHT) (Heshmati & Milani 2010), susu
bubuk (Al‑Sawaf et al. 2012), dan keju (Sarimehmetoglu et al. 2004).
Keberadaan AFM1 dalam susu dapat mengganggu kesehatan manusia terutama bagi
anak-anak karena dapat menyebabkan kanker hati (hepatocelluler carcinoma)
(Prandini et al. 2009).
International Agency for Research on
Cancer (IARC)
mengklasifikasikan AFB1 dan AFM1 sebagai penyebab kanker pada manusia dalam
grup 1 (carcinogenic to human). Aflatoksin dapat mengakibatkan kerusakan
hati dan kanker hati apabila dikonsumsi dalam jumlah kecil secara terus
menerus. Oleh karena itu banyak negara yang membatasi konsentrasi
maksimum kandungan AFM1 dalam produk susu, seperti Amerika Serikat sebesar 0.5
ppb dan Uni Eropa sebesar 0.05 ppb.Batas maksimum kandungan AFM1 pada susu dan
produk olahan susu di Indonesia ditetapkan dalam SNI 7385-2009 dan Peraturan
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor
HK.00.06.1.52.4011 yaitu 0.5 ppb.
Keberadaan AFM1 pada susu segar dari
beberapa daerah di Indonesia telah dilaporkan dengan konsentrasi yang
bervariasi. Kandungan AFM1 pada susu segar dari peternakan rakyat di Kota Bogor
dan Pangalengan (Kabupaten Bandung) menunjukkan 78.38% (29 dari 37 sampel)
terdeteksi AFM1 dengan konsentrasi 0.001-1.2 ppb (Widiastuti et al. 2006).
Survey untuk mendeteksi AFM1 juga telah dilakukan pada 113 sampel susu segar
yang berasal dari peternakan sapi perah di Yogyakarta dengan hasil 57.5%
konsentrasi AFM1 0.005-0.025 ppb (Nuryono et al. 2009).
Residu AFM1 dapat ditemukan pada
susu akibat carry-over dari pakan. Mamalia laktasi yang mencerna AFB1
dalam pakan yang terkontaminasi akan mengekskresikan metabolit hidroksilasi
berupa AFM1 ke dalam susu yang dihasilkan. Tingkat carry-over AFM1
bervariasi bergantung pada konsentarsi AFB1 dalam pakan. Kontaminasi AFM1 pada
susu dan produk susu dapat bervariasi yang dipengaruhi oleh beberapa faktor.
Menurut Oliveira et al. (2013), kontaminasi AFM1 dipengaruhi oleh lokasi
geografis, negara, musim, kondisi lingkungan, rendahnya ketesediaan hijauan,
penggunaan pakan konsentrat yang berlebihan dan kontaminasi aflatoksin B1 pada
pakan dan biji-bijian selama penyimpanan.
Dampak dari residu AFM1 dalam susu
perlu diperhatikan walaupun berada di bawah batas maksimum residu yang telah
ditetapkan karena paparan jangka panjang AFM1 dalam pangan pada tingkat yang
sangat rendah dapat mengganggu kesehatan manusia. Cara yang paling efektif
dalam pengendalian AFM1 dalam pangan adalah mengurangi kontaminasi AFB1 dari
bahan baku pakan tambahan untuk sapi perah. Langkah pencegahan harus diterapkan
untuk mengurangi pertumbuhan jamur dan pembentukan AFB1 pada komoditas
pertanian yang digunakan untuk pakan ternak.
Dosis dan durasi paparan aflatoksin
sangat mempengaruhi akibat yang ditimbulkan, seperti paparan aflatoksin dalam
dosisi tinggi mengakibatkan infeksi akut dan kematian akibat terjadinya sirosis
hati. Paparan kronis aflatoksin dalam pangan merupakan risiko utama untuk
terjadinya gangguan imunitas, malnutrisi dan heptoseluler karsinoma terutama di
negara dimana infeksi hepatitis virus B merupakan penyakit yang endemik. Kanker
hati merupakan kanker nomor lima paling banyak di Indonesia, dengan angka
kejadian dan kematian yang tinggi. Kasus kanker hati pada 483 orang menunjukkan
367 kasus (76%) berhubungan erat dengan sirrhosis hati, hepatitis B dan
hepatitis C, sedangkan 116 kasus (24%) berhubungan dengan faktor lain yang
diduga karena karsinogen termasuk aflatoksin (Rasyid 2006).
Keberadaan residu AFM1 dalam susu
perlu diperhatikan karena dapat mengganggu kesehatan manusia. Oleh karena itu
perlu dilakukan tindakan untuk pengendalian AFM1 dalam susu. Cara yang paling
efektif dalam pengendalian AFM1 dalam produk susuialah mengurangi kontaminasi
AFB1 dari bahan baku pakan konsentrat untuk sapi perah. Langkah pencegahan
harus diterapkan untuk mengurangi kontaminasi dan pertumbuhan kapang serta
pembentukan AFB1 pada komoditas pertanian yang digunakan untuk bahan baku pakan
ternak. Pencegahan kapang dapat dilakukan dengan mempertahankan kelembaban yang
rendah (kurang dari 14%), menjaga pakan tetap segar, menjaga peralatan tetap
bersih dan menggunakan senyawa pencegah pertumbuhan kapang seperti asam
propionat (Widiastuti 2006).
Sumber : http://kesmavet.ditjennak.deptan.go.id/index.php/berita/tulisan-ilmiah-populer/82-dampak-aflatoksin-m1-dalam-susu-bagi-kesehatan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar